Rabu, 23 Januari 2008

Jatinangor Dulu dan Kini

Jembatan yang menjadi landmark Jatinangor, simbol dari masa lalunya.

Jatinangor. Sebuah nama yang masih asing jika kita mendengarnya lima atau enam tahun yang lalu. Penulis sendiri, jika tidak meneruskan pendidikan ke Universitas Padjajaran Fakultas Ilmu Komunikasi mungkin tidak akan pernah menjejakkan kakinya di kawasan ini. Kawasan yang belakangan terkenal berkat tindak-tanduk bar-bar yang dipertontonkan oleh para pelajar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN, dulu STPDN) lewat layar kaca televisi-televisi nasional. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang permasalahan itu, tetapi penulis akan menceritakan sedikit wajah perubahan yang terjadi pada masyarakat Jatinangor, terutama semenjak tibanya para pendatang ke kawasan ini.

Wajah Jatinagor yang kita lihat kini mungkin akan sangat berbeda jika melihatnya 20 atau 30 tahun ke belakang. Sebuah wajah yang memiliki tipikal pedesaan Jawa Barat yang penuh dengan hamparan perkebunan dan persawahan yang asri. Akan tetapi, wajah Jatinangor kini adalah wajah yang sedang mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan, terutama pada masyarakatnya. Masyarakat yang dahulunya sebagian besar petani kini sebagian besar sudah beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang cuci, penjaga rumah, dan sebaginnya . Profesi-profesi yang sebenarnya sangat jauh berbeda dengan latar belakang sosial penduduk yang sudah ada secara turun-temurun kini banyak ditinggalkan.

Masyarakat Jatinangor seperti halnya masyarakat Sumedang ataupun Jawa Barat pada umumnya, memiliki akar yang kuat sebagai masyarakat agraris. Hal itu bisa dilihat dari sisi historis dari kawasan ini. Jatinangor sendiri merupakan nama dari sebuah blok perkebunan karet yang terbentang dari kampus IPDN hingga Gunung Manglayang. Perkebunan karet ini dimiliki oleh seorang berkembangsaan Jerman bernama Baron Blad yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud, yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. (Wikipedia.org)

Perubahan banyak datang ketika kawasan ini dijadikan kawasan pendidikan oleh pemerintah Jawa Barat. Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti (UNWIM) adalah kampus-kampus yang mendiami kawasan pendidikan Jatinangor.

Jatos (Jatinangor Town Square), simbol modernisasi Jatinangor

Bersamaan dengan dibangunnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Seperti nasib lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa umumnya, lahan pertanian Jatinangor juga beralih fungsi menjadi rumah-rumah kost, pertokoan, ataupun pusat perbelajaan. Akan tetapi, yang paling berpengaruh adalah arus modernisasi kaum urban yang dibawa para pendatang yang kebanyakan adalah mahasiswa. Inilah yang membawa dampak paling signifikan bagi perubahan sosio-kultural masyarakat asli Jatinangor.

"Memasuki kawasan pendidikan Jatinangor"

Namun memang, kebanyakan masyarakat disini telah berubah. Berubah menjadi masyarakat yang lebih urban dibandingkan dengan sebelumnya. ini terlihat dari gaya dandanan anak-anak mudanya, hampir tidak ada bedanya dengan di Bandung. Perubahan ini juga di tambah dengan serbuan pusat perbelanjaan yang mulai bermunculan. Di satu sisi, hal tersebut memang berdampak positif bagi kemudahan pemenuhan kebutuhan masyarakat, tapi disisi lain, membuat masyarakat yang belum siap jadi lebih konsumtif.


"kalau sekarang mah lebih enak dibanding dulu. kalau dulu, mah kalau enggak ada kerjaan ya udah aja nganggur, tapi kalau sekarang enggak ada kerjaan, bisa sambilan jadi tukang ojek", ungkap Badi (50) salah seorang tukang ojek yang sudah tinggal di Jatinangor sejak dulu dan pernah bekerja sebagai petani.

Penulis berpendapat, masyarakat Jatinangor adalah sebuah masyarakat yang dipaksa untuk menerima semua perubahan dalam waktu yang singkat. Alasan ekonomi mungkin menjadi penyebab utama berubahnya masyarakat Jatinangor. Banyak dari mereka memaklumi perubahan ini karena alasan ekonomi. Padahal, tanpa disadari modernisasi akan berdampak langsung bagi keberlangsungan tatanan sosial yang sudah ada. Dengan begitu, lama kelamaan masyarakat Jatinangor tak ubahnya masyarakat. Suatu hal yang disayangkan karena mereka akan kehilangan kearifan budaya yang sudah ada sejak turun-temurun

Derasnya modernisasi ternyata tidak selalu merubah semua masyarakat yang tinggal disini. Buktinya penulis masih melihat aktivitas yang menunjukan bahwa mereka memiliki tradisi bertani. Contohnya adalah dimanfaatkannya lahan-lahan tidur menjadi lahan bercocok tanam, walau bisa dibilang lahan itu terlalu kecil. Yang pasti, ini merupakan pertanda bahwa sebagian kecil masyarakat Jatinagor belum melupakan akar mereka sebagai masyarakat agraris.

Menurut penulis, seharusnya Pemerintah bisa lebih bijakasana lagi dalam menanggapi perkembangan yang terjadi di Jatinangor. Perlu adanya peraturan yang jelas tentang pembangunan di Jatinangor. Kalau tidak begitu, bukan tidak mungkin akan muncul permasalahan-permasalahan sosial terkait dengan pembangunan fisik yang tidak diikuti oleh kesiapan masyarakat terhadap perubahan sosial yang terjadi.


Andra Perdana S
210110060191

1 komentar:

rukzzolangan mengatakan...

kang mari kita saling berbagi informasi mengenai sekitar kota jatingor saya membuat salah satu grup di facebook yang bernama made in jatinangor.
http://www.facebook.com/group.php?gid=125322424158&v=app_2373072738#/group.php?gid=125322424158&v=wall