Rabu, 23 Januari 2008

Penjual Gorengan di Jatinangor Mulai Naikkan Harga

Kenaikan bahan-bahan pokok seperti terigu dan minyak goreng tentu tidak hanya memberikan dampak bagi warga maupun para pedagang di kota besar saja. Di Jatinangor dampak kenaikan harga bahan pokok ini sudah mulai memperngaruhi para penjual gorengan. Kenaikan harga terigu yang semula Rp 7000 per kilogram menjadi Rp 10.500 per kilogram dan minyak goreng yang semula Rp 8.500 per liter menjadi Rp 9.600 per liter membuat para penjual gorengan di Jatinangor mulai menaikan harga gorengan mereka.

Dede, salah seorang pedagang gorengan di kawasan gerbang Unpad megakui bahwa ia terpaksa menaikan harga gorengan yang Ia jual dari Rp 400 per buah menjadi Rp 500 per buah karena sudah mulai merugi.

Selain dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak goreng dan terigu, kenaikan harga gorengan ini juga di pengaruhi oleh naiknya harga tahu dan tempe yang juga menjadi salah satu bahan baku gorengan yang ia jual. “Sebenarnya sama kenaikan harga tahu dan tempe aja sudah mulai rugi. Sekarang di tambah harga terigu dan minyak juga naik. Kalau harga gorengannya tidak dinaikan pasti akan rugi besar”, tutur Dede. Dede juga mengatakan bahwa kenaikan harga ini membuat omsetnya turun hingga lima puluh persen.

Saat ditanya apakah harga gorengannya akan kembali normal saat harga terigu dan minyak kembali normal, Dede mengatakan hal tersebut mungkin saja terjadi, Karena ia pun mendapat banyak keluhan dari para pembeli yang keberatan harga dagangannya naik.

Selain Dede, Usman yang juga salah seorang pedagang gorengan di Jatinangor Town Square juga mengaku terpaksa menaikan harga gorengannya yang semula Rp 500 per buah menjadi Rp 700 per buah. Sama seperti Dede, Usman juga mengalami kesulitan karena naiknya harga bahan baku gorengan. “Memang pembeli banyak yang mengeluh karena harganya naik cukup besar, tapi kalau tidak begitu bisa-bisa kami tidak bisa jualan lagi”, ucap Usman.

Selain para pedagang gorengan, beberapa pedagang lainnya seperti pedagang batagor, cimol dan molen juga mengakui mengalami kesulitan karena kenaikan harga terigu dan minyak ini. Namun mereka belum berani menaikan harga dagangan mereka Karen atakut kehilangan pembeli. Mereka mengaku masih bias bertahan, dan hanya bisa berharap agar harga barang-barang tersebut cepat turun sehingga mereka tidak merugi lagi.

Jika harga bahan-bahan pokok ini terus naik, tidak menutup kemungkinan harga sebagian besar makanan yang ada di Jatinangor akan ikut naik juga. Jika sudah begitu bukan hanya pedagang yang akan kebingungan, tetapi juga mahasiswa di Jatinangor yang merupakan konsumen makanan terbesar disana yang sebagian besar adalah anak kosan.



Aisha Ria Ginanti (210110060177)

Jatinangor Dulu dan Kini

Jembatan yang menjadi landmark Jatinangor, simbol dari masa lalunya.

Jatinangor. Sebuah nama yang masih asing jika kita mendengarnya lima atau enam tahun yang lalu. Penulis sendiri, jika tidak meneruskan pendidikan ke Universitas Padjajaran Fakultas Ilmu Komunikasi mungkin tidak akan pernah menjejakkan kakinya di kawasan ini. Kawasan yang belakangan terkenal berkat tindak-tanduk bar-bar yang dipertontonkan oleh para pelajar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN, dulu STPDN) lewat layar kaca televisi-televisi nasional. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang permasalahan itu, tetapi penulis akan menceritakan sedikit wajah perubahan yang terjadi pada masyarakat Jatinangor, terutama semenjak tibanya para pendatang ke kawasan ini.

Wajah Jatinagor yang kita lihat kini mungkin akan sangat berbeda jika melihatnya 20 atau 30 tahun ke belakang. Sebuah wajah yang memiliki tipikal pedesaan Jawa Barat yang penuh dengan hamparan perkebunan dan persawahan yang asri. Akan tetapi, wajah Jatinangor kini adalah wajah yang sedang mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan, terutama pada masyarakatnya. Masyarakat yang dahulunya sebagian besar petani kini sebagian besar sudah beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang cuci, penjaga rumah, dan sebaginnya . Profesi-profesi yang sebenarnya sangat jauh berbeda dengan latar belakang sosial penduduk yang sudah ada secara turun-temurun kini banyak ditinggalkan.

Masyarakat Jatinangor seperti halnya masyarakat Sumedang ataupun Jawa Barat pada umumnya, memiliki akar yang kuat sebagai masyarakat agraris. Hal itu bisa dilihat dari sisi historis dari kawasan ini. Jatinangor sendiri merupakan nama dari sebuah blok perkebunan karet yang terbentang dari kampus IPDN hingga Gunung Manglayang. Perkebunan karet ini dimiliki oleh seorang berkembangsaan Jerman bernama Baron Blad yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud, yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. (Wikipedia.org)

Perubahan banyak datang ketika kawasan ini dijadikan kawasan pendidikan oleh pemerintah Jawa Barat. Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti (UNWIM) adalah kampus-kampus yang mendiami kawasan pendidikan Jatinangor.

Jatos (Jatinangor Town Square), simbol modernisasi Jatinangor

Bersamaan dengan dibangunnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Seperti nasib lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa umumnya, lahan pertanian Jatinangor juga beralih fungsi menjadi rumah-rumah kost, pertokoan, ataupun pusat perbelajaan. Akan tetapi, yang paling berpengaruh adalah arus modernisasi kaum urban yang dibawa para pendatang yang kebanyakan adalah mahasiswa. Inilah yang membawa dampak paling signifikan bagi perubahan sosio-kultural masyarakat asli Jatinangor.

"Memasuki kawasan pendidikan Jatinangor"

Namun memang, kebanyakan masyarakat disini telah berubah. Berubah menjadi masyarakat yang lebih urban dibandingkan dengan sebelumnya. ini terlihat dari gaya dandanan anak-anak mudanya, hampir tidak ada bedanya dengan di Bandung. Perubahan ini juga di tambah dengan serbuan pusat perbelanjaan yang mulai bermunculan. Di satu sisi, hal tersebut memang berdampak positif bagi kemudahan pemenuhan kebutuhan masyarakat, tapi disisi lain, membuat masyarakat yang belum siap jadi lebih konsumtif.


"kalau sekarang mah lebih enak dibanding dulu. kalau dulu, mah kalau enggak ada kerjaan ya udah aja nganggur, tapi kalau sekarang enggak ada kerjaan, bisa sambilan jadi tukang ojek", ungkap Badi (50) salah seorang tukang ojek yang sudah tinggal di Jatinangor sejak dulu dan pernah bekerja sebagai petani.

Penulis berpendapat, masyarakat Jatinangor adalah sebuah masyarakat yang dipaksa untuk menerima semua perubahan dalam waktu yang singkat. Alasan ekonomi mungkin menjadi penyebab utama berubahnya masyarakat Jatinangor. Banyak dari mereka memaklumi perubahan ini karena alasan ekonomi. Padahal, tanpa disadari modernisasi akan berdampak langsung bagi keberlangsungan tatanan sosial yang sudah ada. Dengan begitu, lama kelamaan masyarakat Jatinangor tak ubahnya masyarakat. Suatu hal yang disayangkan karena mereka akan kehilangan kearifan budaya yang sudah ada sejak turun-temurun

Derasnya modernisasi ternyata tidak selalu merubah semua masyarakat yang tinggal disini. Buktinya penulis masih melihat aktivitas yang menunjukan bahwa mereka memiliki tradisi bertani. Contohnya adalah dimanfaatkannya lahan-lahan tidur menjadi lahan bercocok tanam, walau bisa dibilang lahan itu terlalu kecil. Yang pasti, ini merupakan pertanda bahwa sebagian kecil masyarakat Jatinagor belum melupakan akar mereka sebagai masyarakat agraris.

Menurut penulis, seharusnya Pemerintah bisa lebih bijakasana lagi dalam menanggapi perkembangan yang terjadi di Jatinangor. Perlu adanya peraturan yang jelas tentang pembangunan di Jatinangor. Kalau tidak begitu, bukan tidak mungkin akan muncul permasalahan-permasalahan sosial terkait dengan pembangunan fisik yang tidak diikuti oleh kesiapan masyarakat terhadap perubahan sosial yang terjadi.


Andra Perdana S
210110060191

Futsal Invasion

Jatinangor kini makin memanjakan para penghuninya yang sebagian besar adalah mahasiswa, khususnya dalam hal sarana hiburan. Setelah munculnya bioskop di Jatinangor Town Square, kini fasilitas olah raga sekaligus hiburan, yaitu tempat penyewaan lapangan futsal makin banyak muncul di wilayah ini.

Booming olah raga futsal (Football Asal) tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, tetapi juga merambah Jatinangor. Demam main futsal ini sebenarnya berawal dari banyaknya mahsiswa di Jatinangor yang sering bermain futsal dan mengadakan pertandingan atau kompetisi futsal. Lama-kelamaan karena olah raga ini makin populer di Indonesia dan di Jatinangor khususnya, serta makin banyak peminatnya, maka beberapa orang di Jatinangor pun melihat hal ini sebagai peluang bisnis yang cukup menggoda.

Sampai sekarang sudah ada tiga buah tempat futsal umum yang ada di Jatinangor. Satu yang terbaru adalah Ciseke Futsal yang berada di gang H. Nena Sayang, RT. 04 RW. 04. Futsal Ciseke ini adalah tempat futsal ketiga yang dibuka di Jatinangor, setelah sebelumnya ada Jatos Futsal di Jatinangor Town Square, dan X°Celcius di Cibeusi.

Adanya ketiga tempat futsal yang dibuka untuk umum ini tentu saja menjadi angin segar bagi para penggemar futsal. Harga yang ditawarkan oleh ketiga tempat ini pun cukup ramah di kantong mahasiswa yang merupakan konsumen utama. Harga yang ditawarkan berkisar antara tiga puluh ribu hingga seratus tiga puluh ribu rupiah, tergantung pada pilihan kita. Makin tinggi harga, makin tinggi kualitas dan fasilitas lapangan futsal yang kita sewa.

Di X°Celcius misalanya, kita bisa memilih ingin menggunakan lapangan semen keras atau lapangan dari rumput sintetis. Harga yang di tawarkan pun tentu saja berbeda. Untuk lapangan semen keras pihak pengelola menetapkan harga flat Rp 75.000 perjam. Sedangkan untuk rumput sintetis, dari pukul 07.00-19.00 harga Rp 100.000 per jam, dan dari pukul 13.00-22.00 pada hari kerja RP 120.000 per jam dan pada akhir minggu harga naik menjadi Rp 130.000.

Lapangan-lapangan futsal ini biasanya mulai buka dari pagi hari hingga malam hari. Dan makin malam, harga yang ditawarkan pun makin tinggi. Hal ini, menurut Ijul, salah seorang pegawai Jatos Futsal, disebabkan oleh lebih banyaknya pelanggan yang memilih untuk bermain di malam hari karena tidak terganggu oleh waktu kuliah atau pun waktu kerja.

Ijul juga mengatakan bahwa yang bermain futsal di sana bukan hanya dari kalangan mahasiswa tetapi juga warga setempat, dari mulai siswa SMP, siswa SMA hingga bapak-bapak.

Saat ditanya mengenai berapa banyak yang menyewa lapangan futsal tersebut, Ijul mengaku bahwa sekarang jumlah penyewanya sudah menurun karena sudah banyak saingan tempat futsal lainnya. “Padahal sebelum ada tempat futsal lain, yang main bisa terus-menerus bahkan sampai antri”, ucap Ijul.

Sekarang bagi Anda yang berdomisili di Jatinangor dan memang gemar bermain futsal, Anda tidak usah susah-susah lagi mencari lapangan futsal ke Bandung untuk memuaskan hobi Anda tersebut. Anda tinggal berkumpul dengan teman Anda dan memilih tempat futsal mana yang kira-kira cocok dengan kantong dan selera Anda. Jadi selamat mencoba!



Aisha Ria Ginanti (210110060177)



Ketika Pagi Menyatu di Gunung Geulis

Sunrise di Gunung Geulis

"Indah, ternyata Jatinangor tempat yang indah" ini adalah komentar yang tepat bila anda dapat menyatu dengan alam di Jatinangor. Akan tetapi memang tidak semua merasakan keindahan di Jatinangor ini. Mungkin kota yang hanya memiliki rute jalan yang tak berbelok ini membuat para mahasiswa - mahasiswa merasa bosan berada di Jatinangor, khususnya mahasiswa - mahasiswa Unpad. Terlebih lagi bagi mahasiswa yang terbiasa hidup di kota metropolitan, mereka pasti akan merasa kebosanan, karena Jatinangor seperti tempat yang terasingkan.

Sebenarnya bila kita dapat beradaptasi dengan baik, kita akan menemukan keindahan yang belum terungkap di daerah Bandung Timur ini. Keindahan yang alami dan benar - benar menghilangkan rasa jenuh setelah lelah berkuliah dan melakukan segala kegiatan. kita bisa mendapatkan keindahan ini saat pagi menyentuh Gunung Geulis. Gunung yang dulunya gersang ini, sekarang menjadi gunung yang subur dan cukup rimbun.

Mengapa gunung ini bernama Gunung Geulis, karena diatasnya terdapat kuburan seorang putri bernama Putri Geulis, Putri Geulis ini adalah seorang putri yang konon katanya memiliki paras wajah yang cantik. dan anehnya mengapa ia terkubur di atas gunung itu?, menurut cerita ia diperkosa dan dibunuh, kemudian ia dikubur di gunung itu, dan pada akhirnya gunung itu dinamakan Gunung Geulis. Di puncak gunung itu terdapat dua bangunan dan dua pohon yang cukup besar dan rindang yang menutupi kedua bangunan tersebut. Bila dilihat dari bawah kedua pohon itu seakan - akan besar, karena pohon itu terlihat jelas bila kita memandangi Gunung Geulis dari kejauhan atau dari bawah.

Dua bangunan di atas puncak itu adalah makam Putri Geulis dan rumah kuncennya. Banyak orang yang menanjak gunung itu untuk bersemedi meminta jodoh di makam Putri Geulis, akan tetapi alasan yang tepat bagi para mahasiswa menanjak Gunung Geulis adalah untuk hiking, dan merasakan sunrise pada saat pagi menjelang di puncak gunung itu. Selain dua bangunan tersebut, ada sebuah monumen yang dibuat oleh pemerintahan setempat. Rute pendakian Gunung Geulis ini terbilang mudah, karena sudah ada jalan setapak yang mengarahkan kita menuju ke puncaknya.

Di puncak Gunung Geulis ini kita akan merasa bahwa kawasan Jatinangor itu indah. pada malam hari kita bisa melihat kawasan bandung dengan gemerlapan lampu - lampu yang bertaburan menghiasi malam, dan pada pagi hari kita dapat melihat tabir surya mulai mebiaskan cahaya dan memulai terbitnya matahari. kita bisa menikmati suasana ini dikala kita sedang jenuh dengan suasana Jatinangor yang begitu - begitu saja.

Pada pagi hari di Gunung Geulis ini kita pasti akan takjub dengan suasana alam yang tidak kita duga sebelumnya. Sejalan dengan terbitnya matahari, awan dan kabut masih menutupi. kita seakan berada di lautan awan, sangat indah. Kesejukan pagi disana membuat kita merasa nyaman, dengan keindahan itu terbayarlah sudah kelelahan pendakian dan kejenuahan kita. Buat anda yang belum ke Gunung Geulis, penulis menyarankan agar anda dapat berkunjung mendaki gunung yang indah itu.


"Reza Taufik Akbar"




Kerajinan Tangan Mulai Ditinggalkan

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya. Setiap daerah di Indonesia memiliki keseniannya masing-masing yang bisa menjadi ciri khas daerah tersebut contohnya Jawa Barat yang terkenal akan alat musiknya yaitu angklung dan Balii memiliki banyak hasil seni seperti lukisan dan patung yang berasal dari para seniman yang berbakat.

Di tengah kayanya akan kebudayaan, perekonomian Indonesia semakin sulit untuk dikendalikan. Pengangguran semakin bertambah. Rakyat kecil semakin terhimpit hidupnya. Setiap orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Pekerjaan yang bisa menghasilkan uang banyak, semakin diburu oleh para pencari kerja. Dengan fakta ini tingkat ketertarikan masyarakat terhadap bidang seni semakin menurun. Mayoritas masyarakat mempunyai pikiran bahwa hidup di dunia kesenian tidak akan menghasilkan banyak uang, khususnya di bidang pahat, lukis, dan kerajinan keramik.

Banyak daerah yang mengandalkan sektor lain dibanding bidang kesenian untuk meningkatkan APBD mereka. Salah satunya Kecamatan Jatinangor Kota Sumedang, kecamatan yang terkenal sebagai kota pendidikan dengan memiliki dua Perguruan tinggi negeri yaitu, Universitas Padjadjaran dan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), dengan banyaknya mahasiswa, pertumbuhan kecamatan Jatinagor menjadi pesat, dengan tumbuhnya kehidupan perkotaan ditunjang dengan adanya Mall dan tempat hiburan lainnya. Pertumbuhan yang seperti ini membuat kebudayaan dan kesenian daerah Jatinangor menjadi tersingkir dan kurang diminati oleh pemuda asli daerah Jatinangor khususnya.

Ditengah kehidupan “perkotaan” masih terdapat tempat yang menjual benda-benda kesenian yang terdapat persis di samping jalan raya Jatinangor tidak jauh dari Hotel Jatinangor berada, di daerah Cibeusi Kecamatan Jatinangor . Toko kerajinan tangan yang dimiliki oleh salah satu warga asli Jatinangor yang bernama Pak Mumu ini sudah berdiri sejak tahun 1990-an. Toko ini sudah bertahan cukup lama dan menjual barang-barang kerajinan tangan seperi, kerajinan keramik, patung, lukisan, dan sumpit. Bahan dasar kerajinan tangan ada yang terbuat dari keramik, kayu mahoni, kayu suar, dan bambu. Harga setiap kerajinan tangan juga variatif tergantung dari kualitas bahannya dan tingkat kesulitan pembuatannya. Harganya berkisar dari Rp 30.000 sampai Rp 1.000.000-an.

Toko yang buka dari pukul 08.30-19.30 ini juga pernah dikunjungi pengunjung dari luar kota seperti Jakarta dan Jawa Tengah. Pa Mumu pemilik toko juga memiliki pelanggan tetap dari Bali. Dan suka memasok barangnya ke salah satu cabangnya di Bali. Bidang kesenian harus terus diperhatikan, khususnya hasil kerajinan tangan yang memiliki prospek cukup kuat untuk meningkatkan APBD. Jika hal ini terus disupport oleh pemerintah maka hasil karya bangsa Indonesia akan terkenal di luar negeri. Tinggal bagaimana pemerintah setempat menanggapi hal ini.

(Arif wicaksono A, 210110060319)